Sebuah matahari yang terang pada hari ini menjadi mata langit paling bersinar di atas sana. Sebuah kesenangan karena akan bertemu teman-teman terbayang-bayang di samping matahari. Hari ini masih siang saja, pukul satu lebih dua puluh di arloji kotak lengan kiri.
Kunci motor sudah menancap. Aku berangkat menjemput seorang teman. Kami menuju rumah teman yang lain. Berdua saja. Tidak jauh, hanya sekira 2 kilometer.
Saat masih sekolah dulu, pernah sekali aku ke pusat kota bersama teman perempuan satu kelas. Aku ingat benar apa yang kita lakukan di atas motor saat pulang. Barangkali memang itu yang mesti diperbuat oleh tangan, sebab teman perempuanku itu yang membonceng di depan. Aku ingat benar saat sudah sampai di rumahku, ia daratkan sesuatu di pipi dan begitu pula sebaliknya. Saat itu masih labil, masa remaja yang diselingi kenakalan sewajarnya.
Sekarang rumahnya kutuju ini, sudah beberapa tahun tidak berjumpa. Tidak lama aku di rumahnya, benar-benar bisa dikata terlalu singkat untuk sekelas bertamu.
Seorang laki-laki duduk di sana. Lebih dulu sebuah motor terparkir biasa di depan pintu. Ada satu helm. Satu pasang sandal pula. Saat itu perasaanku tidak enak, ternyata kenyataan di sana lebih tidak enak. Sedang duduk laki-laki yang kuketahui tunangannya. Di depan bapaknya, di depan laki-laki itu, di depannya pula, kuceritakan perbuatan heroik tanganku kepada bagian tubuhnya, juga dia kepadaku!
Aku keluar pintu depan setelah pamitan, mereka semua masih melongo saja. Teman perempuanku itu barangkali marah besar tidak terkira. Temanku yang sedari tadi denganku kuseret tangannya sebab ia tidak bisa bergerak. Memang harusnya begitu, balasan untuk kejutan tidak lucu! Kunci motor ketinggalan, aku masuk lagi, meninggalkan lagi mereka semua yang tetap melongo.
Aku laki-laki paling sinting di sini. Mereka pasti tidak mengantisipasi sikap heroikku.
Temanku tidak sanggup membonceng, terpaksa aku di depan. Ia diam saja di atas jok belakang, tidak bersua, tidak pula bergerak. Kuarahkan motor menuju teman perempuan satu kelas lainnya. Di rumah teman yang ini aku diam saja. Semua bicara dengan terus memojokkanku, termasuk teman yang kubonceng. Ia sudah bisa bersuara, tawanya beringas kala aku tersudut dengan percakapan mereka. Semua tertawakan sikap kikuk dariku setelahnya.
3 bungkus rokok Surya milik tuan rumah kuambil dari meja. Teman perempuanku kaget, temanku melongo lagi, tamu-tamu takut berkedip. Kuseret lagi tangan temanku, sebab ia tidak bisa bergerak! Sore mulai muncul, lagi-lagi aku di jok depan, memandang sinar sore yang terlalu hangat di mata.
Aku laki-laki paling sinting di sini. Mereka pasti tidak mengantisipasi sikap heroikku yang kedua ini.
Yang terakhir adalah rumah seorang teman laki-laki sekelas. Tenang saja aku berkendara, tujuan paling akhir buat bersalam-salaman, dan barangkali bermaaf-maafan pula. Selebihnya merokok dan mencaci dua kejadian barusan. Satu kelok terlalui, sebuah motor di depan bergerak lambat sekali. Kulihati benar-benar, dua orang bergandengan erat sekali. Teman perempuanku yang pertama tadi dan tunangannya!
Aku segera belok ke jalan lain entah yang mana! Segera pemandangan macam begitu hilang saja. Perjalanan tenang menuju rumah seorang teman laki-laki sekelas dulu saat masih sekolah jadi tegang kembali!
Perjalanan yang dipenuhi kerja keras menahan ngilu di dada dan dahi sampai juga di rumah temanku yang itu. Hingar bingar candaan yang kurindukan, tawa mesum yang binal, asik sekali semua. Temanku kembali mencair setelah beku dan melongonya karena candaan dan tawa kami.
Kami bertiga makan-makan terus, merokok terus, minum terus. Sampai malam juga di sini, hujan tiba-tiba mengeroyok bumi sejak petang. Kami tidak terlalu peduli, barangkali malam bakal selalu jadi teman yang menemani hari-hari kami.
Tapi akhirnya temanku pamitan duluan, hampir-hampir aku mesti menginap di sini jika tidak segera mengekor dan meloncat ke jok belakang.
"Bangsat! Masih gerimis. Bangsat! Kenapa buru-buru?!"
"Kebelet!"
"Kebelet?"
"Jangan banyak tanya, bangsat! Kebelet boker!"
"Boker di rumahnya tadi bisa. Balik, bangsat!"
"Nggak nyaman!"
Di jalan, menahan kuyup dan gigil, kukeluarkan macam-macam umpatan! Ia laki-laki paling sinting di sini. Hampir satu jam ia seret aku turut berhujan-hujan malam untuk segera pulang.
Hari ini kacau! Gelar orang paling sinting bisa-bisa diambil olehnya! Segera setelah sampai rumahnya, dalam menggigil terus, saat hujan makin lebat, aku meloncat! Mengambil motorku dan buru-buru pulang!
"Kau nggak kedinginan? Sini masuk dulu, mandi, sekalian ganti baju!"
"Enggak! Kebelet!"
"Kebelet apa?"
"Kencing!"
"Kan bisa kencing di sini!"
"Nggak nyaman, goblok!"
Perjalanan pulang adalah yang paling menang! Pukul sebelas malam di bawah hujan! Menggigil, dingin, basah, kurasai perayaan paling nyaman dan hangat! Perayaan atas kemenangan mempertahankan gelar sebagai orang paling sinting pada hari ini. //